Lahan
gambut dikenal dan ditemukan pertama kali oleh Kyooker, seorang pejabat Belanda
pada tahun 1860 an yang menyatakan bahwa 1/6 areal wilayah Sumatera ditempati
gambut (Notohadiprawiro, 1997). Istilah gambut sendiri pertama kali muncul dan
kemudian umum digunakan oleh di kalangan ilmiawan dan menjadi kosa kata
Indonesia sejak tahun 1970 an (Radjaguguk, 2001).
Menurut
Soekardi dan Hidayat (1988) penyebaran gambut di Indonesia meliputi areal
seluas 18.480 ribu hektar, tersebar pada pulau-pulau besar Kalimantan,
Sumatera, Papua serta beberapa pulau Kecil. Dengan penyebaran seluas sekitar 18
juta ha maka luas lahan gambut Indonesia menempati urutan ke-4 dari luas gambut
dunia setelah Kanada; Uni Sovyet dan Amerika Serikat. Kalimantan Barat
merupakan propinsi yang memiliki luas lahan gambut terbesar di Indonesia yaitu
seluas 4,61 juta ha, diikuti oleh Kalimantan Tengah, Riau dan Kalimantan
Selatan dengan luas masing-masing 2,16 juta hektar, 1,70 juta hektar dan 1,48
juta hektar.
Jenis
tanah Organosol atau tanah gambut atau tanah organik berasal dari bahan induk
organik seperti dari hutan rawa atau rumput rawa, dengan ciri dan sifat:
(1) tidak
terjadi deferensiasi horizon secara jelas,
(2) ketebalan
lebih dari 0.5 m,
(3) warna
coklat hingga kehitaman,
(4) tekstur
debu lempung,
(5)
tidak berstruktur,
(6) konsistensi
tidak lekat-agak lekat,
(7) kandungan
organik lebih dari 30% untuk tanah tekstur lempung dan lebih dari 20% untuk
tanah tekstur pasir,
(8)
umumnya bersifat sangat asam (pH 4,0)
(9) kandungan
unsur hara rendah (Paungkas P, 2006)
(10)
mempunyai sifat drying irreversible
(11)
kemampuan mengikat air 20 – 30 x beratnya sendiri
(12)
DAYA DUKUNGNYA RENDAH
.(13) Mengandung pirit (FeS) bila teroksidasi dan kena
air akan berubah menjadi H2SO4 (asam kuat) sehingga pH nya menjadi <2,5
Soil
Survey Staff (1990) menyatakan bahwa yang dimaksud dengan tanah organik
(Histosol) adalah tanah yang mempunyai ketebalan sebagai berikut :
(1) 60 cm atau lebih dengan kandungan serat (bahan organik
kasar) meliputi 3/4 volume atau lebih dan kerapatan jenis dalam keadaan lembab
kurang dari 0.1 g ml-1;
(2) 40 cm atau lebih :
(a) dengan lapisan bahan organik jenuh air lebih dari 6
bulan atau telah ada perbaikan drainase;
(b) dengan bahan organik terdiri atas bahan organik halus
(saprik) atau bahan organik sedang (hemik) atau bahan fibrik (kasar) kurang
dari 2/3 volume dan kerapatan jenis dalam keadaan lembab 0.1 g ml-1 atau lebih.
Tanah
gambut merupakan tanah hidromorfik yang bahan asalnya sebagian besar atau
seluruhnya terdiri atas bahan organik sisa-sisa tumbuhan, dalam keadaan yang
selalu tergenang, dimana proses dekomposisinya berlangsung tidak sempurna
sehingga terjadi penumpukan dan akumulasi bahan organic. Sehingga membentuk tanah gambut yang
kedalamannya di beberpa tempat dapat mencapai 16 meter. Di daerah tropis
khususnya Indonesia menurut Driesen (1978) terbentuknya gambut pada umumnya
terjadi dibawah kondisi dimana tanaman yang telah mati tergenang air secara
terus menerus, misalnya pada cekungan atau depresi, danau atau daerah pantai
yang selalu tergenang dan produksi bahan organik yang melimpah dari vegetasi
hutan mangrove atau hutan payau.
Tanah
gambut dapat terbentuk di daerah rawa pasang surut dan di daerah rawa-rawa
pedalaman yang tidak dipengaruhi oleh air pasang surut (Hardjowigeno, 1996).
Tanah gambut terbentuk karena laju akumulasi bahan organik melebihi proses
mineralisasi yang biasanya terjadi pada kondisi jenuh air yang hampir terus
menerus sehingga sirkulasi oksigen dalam tanah terhambat. Hal tersebut akan
memperlambat proses dekomposisi bahan organik dan akhirnya bahan organik itu
akan menumpuk.
Lahan
gambut mempunyai penyebaran di lahan rawa, yaitu lahan yang menempati posisi
peralihan diantara daratan dan sistem perairan (pantai). Lahan ini sepanjang
tahun/selama waktu yang panjang dalam setahun selalu jenuh air (water logged)
atau tergenang air. Tanah gambut terdapat di cekungan, depresi atau
bagian-bagian terendah di pelimbahan dan menyebar di dataran rendah sampai
tinggi (pegunungan). Yang paling dominan dan sangat luas adalah lahan gambut
yang terdapat di lahan rawa di dataran rendah sepanjang pantai. Lahan gambut
sangat luas umumnya menempati menyebar diantara aliran bawah sungai besar dekat
muara, dimana gerakan naik turunnya air tanah dipengaruhi pasang surut harian
air laut.
Di
alam, gambut sering bercampur dengan tanah liat. Tanah disebut sebagai tanah
gambut apabila memenuhi salah satu persyaratan berikut (Soil Survey Staff ,1990):
1. Apabila dalam keadaan jenuh air mempunyai
(a) kandungan C–organik paling sedikit 18% jika kandung
liatnya >60 %
(b) mempunyai kandungan C-organik 2% jika tidak mempunyai
liat (O %)
(c) mempunyai kandungan C–organik lebih dari 12% + % liat
x 0,1 jika kandungan liatnya antara 0-60 %.
2. Apabila tidak jenuh air mempunyai kandungan C-organik
minimal 2O %.
Menurut
Suhardjo dan Soepraptohardjo (1981), tanah gambut mempunyai lapisan organik
setebal 50 cm atau lebih dari permukaan tanah. Kriteria penggolongan tanah
gambut dengan tanah mineral secara kuantitatif ditentukan oleh kandungan fraksi
bahan tanah mineral dan C-organik.
Menurut Everret
(1983), suatu tanah digolongkan pada tanah gambut jika
(1)
mempunyai 18 % atau lebih C-organik jika fraksi mineral terdiri atas 60% atau
lebih kadar liat,
(2)
mempunyai 12% atau lebih kecil C-organik jika fraksi mineral tidak mengandung
liat, dan
(3)
mempunyai 12% sampai 18% C-organik jika fraksi mineral mengandung liat antara
0% sampai 60 %.
Gambut
tropis umumnya berwarna coklat tua (gelap), bergantung pada tahapan
dekomposisinya. Kandungan air yang tinggi dan kapasitas memegang air 15 sampai
30 kali dari bobot kering, bobot isi rendah (0.05-0.4 g cm-3), dan porositas
total antara 75% sampai 95% menyebabkan terbatasnya penggunaan mesin-mesin
pertanian dan pemilihan komoditas yang akan diusahakan (Ambak dan Melling,
2000). Sifat lain yang merugikan adalah jika gambut mengalami pengeringan yang
berlebihan sehingga koloid gambut menjadi rusak. Gejala kering tak balik
(irreversible drying) terjadi dan gambut berubah sifat seperti arang sehingga
tidak mampu lagi menyerap hara dan menahan air (Subagyo et al, 1996). Gambut
akan kehilangan air tersedia setelah 4 sampai 5 minggu pengeringan dan hal itu
mengakibatkan gambut mudah terbakar.
Dapat
juga digolongkan pada tanah gambut bila kedalaman tanah tersebut besar > 50
cm dan kandungan bahan organiknya > 65%.
Menurut
Soil Taxonomi gambut digolongkan kedalam order Histosol yang dibedakan menjadi
4 sub order masing-masing Folists, Fibreists, Hemists, Saprists.
(1)· Folist merupakan lapisan tanah yang tersusun oleh
tumpukan daun-daun, ranting dan cabang yang tertimbun diatas batuan, kerikil
atau pasir yang ruang antaranya telah diisi oleh bahan organik.
(2)· Fibrists merupakan tumpukan dari bahan organik yang
berserat yang belum atau baru mengalami proses dekomposisi.
(3) Hemists adalah gambut yang tingkat dekomposis bahan
organik tengah berlangsung, dimana separuh dari bahan organik tersebut telah
terdekomposisi.
(4)· Saprists adalah gambut yang tingkat dekomposisinya
telah lanjut, hampir tidak berserabut, berat jenisnya besar dari 0,2 dan
biasanya berwarna hitam atau coklat kelam.
Berdasarkan
penyebaran topografinya, tanah gambut dibedakan menjadi tiga yaitu:
a.
gambut ombrogen: terletak di dataran pantai berawa, mempunyai ketebalan 0.5 –
16 meter, terbentuk dari sisa tumbuhan hutan dan rumput rawa, hampir selalu
tergenang air, bersifat sangat asam. Contoh penyebarannya di daerah dataran
pantai Sumatra, Kalimantan dan Irian Jaya (Papua);
b.
gambut topogen: terbentuk di daerah cekungan (depresi) antara rawa-rawa di
daerah dataran rendah dengan di pegunungan, berasal dari sisa tumbuhan rawa,
ketebalan 0.5 – 6 meter, bersifat agak asam, kandungan unsur hara relatif lebih
tinggi. Contoh penyebarannya di Rawa Pening (Jawa Tengah), Rawa Lakbok (Ciamis,
Jawa Barat), dan Segara Anakan (Cilacap, Jawa Tengah); dan
c.
gambut pegunungan: terbentuk di daerah topografi pegunungan, berasal dari sisa
tumbuhan yang hidupnya di daerah sedang (vegetasi spagnum). Contoh
penyebarannya di Dataran Tinggi Dieng.
Tanah
gambut secara alami terdapat pada lapisan paling atas. Di bawahnya terdapat
lapisan tanah alluvial pada ke dalaman yang bervariasi. Lahan dengan ketebalan
tanah gambut kurang dari 50 cm disebut sebagai lahan atau tanah bergambut
disebut sebagai lahan gambut apabila ketebalan gambut lebih dari 50 cm. Dengan
demikian,lahan gambut adalah lahan rawa dengan ketebalan gambut lebih dari 50
cm.
Berdasarkan kedalamnya, lahan gambut dibagi
menjadi empat tipe, yaitu:
1. Lahan gambut dangkal, yaitu lahan dengan
ketebalan gambut 50 - 100 cm;
2. Lahan gambut sedang, yaitu lahan dengan
ketebalan gambut 100 - 200 cm
3. Lahan gambut dalam, yaitu lahan dengan
ketebalan gambut 200 - 300 cm
4. Lahan gambut sangat dalam, yaitu lahan
dengan ketebalan gambut lebih dari 300 cm.
Tanah
gambut di daerah tropika basah seperti Indonesia berkembang dari vegetasi hutan
tropis. Dalam kondisi alami, lapisan tanah gambut terdiri atas bahan material
berserat dan tanaman yang terdekomposisi belum sempurna, sehingga menghasilkan
tanah gambut yang variasi dan sebarannya heterogen. Menurut pengamatan di
lapangan, material berserat ini tidak terdistribusi secara merata dalam lapisan
tanah.
Dari
sekian luas penyebaran di Indonesia beberapa bagian dipengaruhi oleh pasang.
Diberbagai tempat dewasa ini telah dilakukan pemanfaatan tanah gambut itu
terutama untuk lahan pasang surut dan pembukaan lahan lain baik untuk
perkebunan maupun untuk lahan pemukiman transmigrasi.
Wilayah
lahan-lahan gambut merupakan potensi karbon dan juga sebagai penyimpan air
perlu didorong sehingga pemanfaatannya bisa maksimal dan tidak keliru lagi.
Pemanfaatan gambut yang tidak bijaksana justru membawa bencana bagi kehidupan
masyarakat setempat dan bangsa. Misalnya kasus kebakaran hutan yang menyebabkan
protes dari negara-negara tetangga.
Pasalnya,
di kawasan hutan gambut tropika, vegetasi maupun gambut di bawahnya menyimpan
kandungan karbon yang besar. Terdapat hubungan sangat jelas antara cadangan
karbon, emisi karbon, dan pengaruhnya terhadap proses perubahan iklim dunia.
Isu perubahan iklim dunia sudah menjadi isu global yang perlu dicarikan
solusinya.
Berdasar
sifat dari bahan gambut dan hasil pembelajaran dalam pengelolaan lahan gambut,
maka pengembangan lahan gambut Indonesia ke depan dituntut menerapkan beberapa
kunci pokok pengelolaan yang meliputi
(1)
aspek legal yang mendukung pengelolaan lahan gambut;
(2)
penataan ruang berdasarkan satuan sistem hidrologi gambut sebagai wilayah
fungsional ekosistem gambut;
(3)
pengelolaan air;
(4)
pendekatan pengembangan berdasarkan karakteristik bahan tanah mineral di bawah
lapisan gambut;
(5)
peningkatan stabilitas dan
(6)
penurunan sifat toksik bahan gambut dan
(7)
pengembangan tanaman yang sesuai dengan karakteristik lahan.
Komposisi
bahan penyusun gambut berkaitan erat dengan asam-asam organik yang dihasilkan
selama proses dekomposisi. Stevenson (1994) menjelaskan bahwa lignin akan
mengalami proses degradasi menjadi senyawa humat dan selama proses degradasi
tersebut akan dihasilkan asam-asam fenolat.
Berdasarkan
tingkat kesuburan alami, gambut dibagi dalam 3 kelompok yakni
(1) eutrofik
(kandungan mineral tinggi, reaksi gambut netral atau alkalin),
(2) oligotrofik
(kandungan mineral, terutama Ca rendah dan reaksi masam) dan
(3) mesotrofik
( terletak diantara keduanya dengan pH sekitar 5, kandungan basa sedang).
Ketebalan atau kedalaman gambut juga
menentukan tingkat kesuburan alami dan potensi kesesuaiannya untuk tanaman.
Subagyo et al, (1996) membagi gambut dalam 4 kelas, yaitu
(1) dangkal
(50-100 cm),
(2) agak
dalam (100-200 cm),
(3) dalam
(200-300 cm) dan
(4) sangat
dalam (lebih dari 300 cm).
Menurut
Subagyo et al, (1996), tanah bawah gambut dapat terdiri atas liat endapan
marin, pasir kuarsa, atau endapan liat nonmarin. Tanah gambut yang berkembang
di atas pasir kuarsa miskin hara esensial dibandingkan dengan tanah gambut yang
berkembang di atas tanah lempung dan liat.
Tingkat
dekomposisi bahan organik ditunjukkan oleh kandungan serat. Pengertian taraf
dekomposisi bahan organik tanah yang lebih jelas dikemukakan Widjaja dan Adhi
(1988). Yang dimaksud dengan
(1) fibrik adalah bahan organik tanah yang sangat sedikit
terdekomposisi yang mengandung serat sebanyak 2/3 volume. Bobot volume fibrik
lebih kecil dari 0.075 g cm-3 dan kandungan air tinggi jika tanah dalam keadaan
jenuh air.
(2) Saprik adalah bahan organik yang terdekomposisi
paling lanjut yang mengandung serat kurang dari 1/3 volume dan bobot isi saprik
adalah 0,195 g cm-3, sedangkan
(3) hemik adalah bahan organik yang mempunyai tingkat
dekomposisi antara fibrik dengan saprik dengan bobot isi 0,075 sampai 0,195 g
cm-3.
Berdasarkan
status hara, Fleisher (1965, dikutip Driessen dan Soepraptohardjo, 1974)
memilah gambut menjadi tiga golongan, yaitu
(1)
gambut eutropik yang subur,
(2)
gambut mesotropik dengan kesuburan sedang, dan
(3)
gambut oligotropik sebagai gambut miskin.
Penggolongan tersebut didasarkan pada kandungan nitrogen
(N), kalium (K), fosfor (P), kalsium (Ca), dan kadar abunya seperti yang
disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1. Kriteria kimia gambut eutropik,
mesotropik, dan oligotropik menurut Fleischer
|
KRITERIA PENILAIAN
|
||||
Tingkat Kesuburan
|
N
|
K2O
|
P2O5
|
CaO
|
Abu
|
|
|
|
|
|
|
Eutropik
|
2.50
|
0.10
|
0.25
|
4.00
|
10.00
|
Mesotropik
|
2.00
|
0.10
|
0.20
|
1.00
|
5.00
|
Oligotropik
|
0.80
|
0.03
|
0.05
|
0.25
|
2.00
|
|
|
|
|
|
|
Sumber : Driessen dan Soepraptohardjo
(1974).
Sebagai
akibat akumulasi bahan organik dan tanah dalam lingkungan tergenang air, banyak
terbentuk senyawa-senyawa asam organik sehingga derajat kemasaman tanah gambut
tinggi. Menurut Halim dan Soepardi (1987), kategori kemasaman tanah gambut
dibedakan atas :
(1)
tinggi, pH kurang dari 4;
(2)
sedang, pH berkisar antara 4 sampai 5;
(3) rendah, pH lebih dari 5.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Mari diskusi bareng