KEBERAGAMAN & TOLERANSI BERAGAMA PADA KEHIDUPAN SOSIAL
DI INDONESIA
A.
Defenisi agama Agama
Defenisi agama agama menurut Kamus
Besar Bahasa Indonesia adalah sistem yang mengatur tata keimanan
(kepercayaan) dan peribadatan kepada Tuhan Yang Mahakuasa serta tata kaidah
yang berhubungan dengan pergaulan manusia dan manusia serta lingkungannya.Kata
“agama” berasal dari bahasa Sanskerta, āgama yang berarti
“tradisi”.[1]. Sedangkan kata lain untuk menyatakan konsep ini
adalah religi yang
berasal daribahasa Latin religio dan
berakar pada kata kerja re-ligare yang
berarti “mengikat kembali”. Maksudnya dengan berreligi, seseorang mengikat
dirinya kepada Tuhan.
Émile Durkheim mengatakan bahwa agama adalah
suatu sistem yang terpadu yang terdiri atas kepercayaan dan praktik yang
berhubungan dengan hal yang suci. Kita sebagai umat beragama semaksimal mungkin
berusaha untuk terus meningkatkan keimanan kita melalui rutinitas beribadah,
mencapai rohani yang sempurna kesuciannya
B.
Macam-macam agama
1.
Islam
2.
Kristen
3.
Hindu
4.
Buddha
5.
Kristen katolik
6.
Konghuchuprotestan
1. Agama islam— Islam— Indonesia merupakan negara
dengan penduduk Muslimterbanyak di dunia, dengan 85% dari jumlah penduduk
adalah penganut ajaran Islam. Mayoritas Muslim dapat dijumpai di wilayah barat
Indonesia seperti di Jawa dan Sumatera .Sedangkan di wilayah timur Indonesia,
persentase penganutnya tidak sebesar di kawasan barat. Sekitar 98% Muslim di
Indonesia adalah penganut aliran Sunni Sisanya, sekitar dua juta pengikut
adalah Syiah(di atas satu persen), berada di Aceh.— Sejarah Islam di Indonesia
sangatlah kompleks dan mencerminkan keanekaragaman dan kesempurnaan tersebut
kedalam kultur. Pada abad ke-12, sebagian besar pedagang orang Islam dari India
tiba di pulau Sumatera, Jawa dan Kalimantan. Hindu yang dominan beserta
kerajaan Buddha, seperti Majapahit dan Sriwijaya, mengalami kemunduran, dimana
banyak pengikutnya berpindah agama ke Islam. Dalam jumlah yang lebih kecil,
banyak penganut Hindu yang berpindah ke Bali, sebagian Jawa dan Sumatera. Dalam
beberapa kasus, ajaran Islam di Indonesia dipraktikkan dalam bentuk yang
berbeda jika dibandingkan dengan Islam daerah Timur Tengah— Ada pula sekelompok
pemeluk Ahmadiyah yang kehadirannya belakangan ini sering dipertanyakan. Aliran
ini telah hadir di Indonesia sejak 1925. Pada 9 Juni 2008, pemerintah Indonesia
mengeluarkan sebuah surat keputusan yang praktis melarang Ahmadiyah melakukan
aktivitasnya ke luar. Dalam surat keputusan itu dinyatakan bahwa Ahmadiyah
dilarang menyebarkan ajarannya.[ kembali
2. Kristen Protestan berkembang di Indonesia selama masa
kolonial Belanda (VOC), pada sekitar abad ke- 16. Kebijakan VOC yang
mereformasi Katolik dengan sukses berhasil meningkatkan jumlah penganut paham
Protestan di Indonesia. Agama ini berkembang dengan sangat pesat pada abad
ke-20, yang ditandai oleh kedatangan para misionaris dari Eropa ke beberapa
wilayah di Indonesia, seperti di wilayah barat Papua dan lebih sedikit di
kepulauan Sunda. Pada 1965, ketika terjadi perebutan kekuasaan, orang-orang
tidak beragama dianggap sebagai orang-orang yang tidak ber-Tuhan, dan karenanya
tidak mendapatkan hak-haknya yang penuh sebagai warganegara. Sebagai hasilnya,
gereja Protestan mengalami suatu pertumbuhan anggota.Protestan membentuk suatu
perkumpulan minoritas penting di beberapa wilayah. Sebagai contoh, di pulau
Sulawesi, 17% penduduknya adalah Protestan, terutama di Tana Toraja, Sulawesi
Tengah dan Sulawesi Utara, Sekitar 75% penduduk di Tana Toraja adalah
Protestan. dibeberapa wilayah, keseluruhan desa atau kampung memiliki sebutan
berbeda terhadap aliran Protestan ini, tergantung pada keberhasilan aktivitas
para misionaris.Di Indonesia, terdapat tiga provinsi yang mayoritas penduduknya
adalah Protestan, yaitu Papua, Ambon,dan Sulawesi Utara dengan 90%,91%,94% dari
jumlah penduduk. Di Papua, ajaran Protestan telah dipraktikkan secara baik oleh
penduduk asli.Di Ambon, ajaran Protestan mengalami perkembangan yang sangat
besar. Di Sulawesi Utara, kaum Minahasa, berpindah agama ke Protestan pada
sekitar abad ke-18. Saat ini, kebanyakan dari penduduk asli Sulawesi Utara
menjalankan beberapa aliran Protestan. Selain itu, para transmigran dari pulau
Jawa dan Madura yang beragama Islam juga mulai berdatangan. Sepuluh persen
lebih-kurang; dari jumlah penduduk Indonesia adalah penganut Kristen Protestan.
Kembali
3. Hindu,— Kebudayaan dan agama Hindu tiba di
Indonesia pada abad pertama Masehi, bersamaan waktunya dengan kedatangan agama
Buddha, yang kemudian menghasilkan sejumlah kerajaan Hindu-Buddha seperti
Kutai, Mataram dan Majapahit. Candi Prambanan adalah kuil Hindu yang dibangun
semasa kerajaan Majapahit, semasa dinasti Sanjaya. Kerajaan ini hidup hingga
abad ke 16 M, ketika kerajaan Islam mulai berkembang. Periode ini, dikenal
sebagai periode Hindu-Indonesia, bertahan selama 16 abad penuh.— Hindu di
Indonesia berbeda dengan Hindu lainnya di dunia.Sebagai contoh, Hindu di
Indonesia, secara formal ditunjuk sebagai agama Hindu Dharma, tidak pernah
menerapkan sistem kasta. Contoh lain adalah, bahwa Epos keagamaan Hindu
Mahabharata (Pertempuran Besar Keturunan Bharata) dan Ramayana (Perjalanan
Rama), menjadi tradisi penting para pengikut Hindu di Indonesia, yang
dinyatakan dalam bentuk wayang dan pertunjukan tari. Aliran Hindu juga telah
terbentuk dengan cara yang berbeda di daerah pulau Jawa, yang jadilah lebih
dipengaruhi oleh versi Islam mereka sendiri, yang dikenal sebagai Islam Abangan
atau Islam Kejawen.— Semua praktisi agama Hindu Dharma berbagi kepercayaan
dengan banyak orang umum, kebanyakan adalah Lima Filosofi: Panca Srada. Ini
meliputi kepercayaan satu Yang Maha Kuasa Tuhan, kepercayaan di dalam jiwa dan
semangat, serta karma atau kepercayaan akan hukuman tindakan timbal balik.
Dibanding kepercayaan atas siklus kelahiran kembali dan reinkarnasi, Hindu di
Indonesia lebih terkait dengan banyak sekali yang berasal dari nenek moyang
roh. Sebagai tambahan, agama Hindu disini lebih memusatkan pada seni dan
upacara agama dibanding kitab, hukum dan kepercayaan.— Menurut catatan, jumlah
penganut Hindu di Indonesia pada tahun 2006 adalah 6,5 juta orang), sekitar
1,8% dari jumlah penduduk Indonesia, merupakan nomor empat terbesar. Namun
jumlah ini diperdebatkan oleh perwakilan Hindu Indonesia, Parisada Hindu Dharma
Indonesia (PHDI). PHDI memberi suatu perkiraan bahwa ada 18 juta orang penganut
Hindu di Indonesia. Sekitar 93 % penganut Hindu berada di Bali. Selain Bali
juga terdapat di Sumatera, Jawa, Lombok, dan pulau Kalimantan yang juga
memiliki populasi Hindu cukup besar, yaitu di Kalimantan Tengah, sekitar 15,8 %
(sebagian besarnya adalah Hindu Kaharingan, agama lokal Kalimantan yang
digabungkan ke dalam agama Hindu). kembali
4. Buddha,— Buddha merupakan agama tertua kedua di
Indonesia, tiba pada sekitar abad keenam masehi. [30]Sejarah Buddha di
Indonesia berhubungan erat dengan sejarah Hindu, sejumlah kerajaan Buddha telah
dibangun sekitar periode yang sama. Seperti kerajaan Sailendra, Sriwijaya dan
Mataram. Kedatangan agama Buddha telah dimulai dengan aktivitas perdagangan
yang mulai pada awal abad pertama melalui Jalur Sutra antara India dan Indonesia.
Sejumlah warisan dapat ditemukan di Indonesia, mencakup candi Borobudur di
Magelang dan patung atau prasasti dari sejarah Kerajaan Buddha yang lebih
awal.— Mengikuti kejatuhan Soekarno pada pertengahan tahun 1960-an, dalam
Pancasila ditekankan lagi pengakuan akan satu Tuhan (monoteisme). Sebagai
hasilnya, pendiri Perbuddhi (Persatuan Buddha Indonesia), Bhikku Ashin
Jinarakkhita, mengusulkan bahwa ada satu dewata tertinggi, Sang Hyang Adi
Buddha. Hal ini didukung dengan sejarah di belakang versi Buddha Indonesia pada
masa lampau menurut teks Jawa kuno dan bentuk candi Borobudur.— Menurut sensus
nasional tahun 2000, kurang lebih dari 2% dari total penduduk Indonesia
beragama Buddha, sekitar 4 juta orang. Kebanyakan penganut agama Buddha berada
di Jakarta, walaupun ada juga di lain provinsi seperti Riau, Sumatra Utara dan
Kalimantan Barat. Namun, jumlah ini mungkin terlalu tinggi, mengingat agama
konghucu dan Taoisme tidak dianggap sebagai agama resmi di Indonesia, sehingga
dalam sensus diri mereka dianggap sebagai penganut agama Buddha. Kembali
5. Kristen katolik— Umat Katolik Perintis di Indonesia:
645 – 1500— Agama Katolik untuk pertama kalinya masuk ke Indonesia pada bagian
pertama abad ketujuh di Sumatera Utara. Fakta ini ditegaskan kembali oleh (Alm)
Prof. Dr. Sucipto Wirjosuprapto. Untuk mengerti fakta ini perlulah penelitian
dan rentetan berita dan kesaksian yang tersebar dalam jangka waktu dan tempat
yang lebih luas. Berita tersebut dapat dibaca dalam sejarah kuno karangan
seorang ahli sejarah Shaykh Abu Salih al-Armini yang menulis buku “Daftar
berita-berita tentang Gereja-gereja dan pertapaan dari provinsi Mesir dan
tanah-tanah di luarnya”. yang memuat berita tentang 707 gereja dan 181
pertapaan Serani yang tersebar di Mesir, Nubia, Abbessinia, Afrika Barat,
Spanyol, Arabia, India dan Indonesia.— Dengan terus dilakukan penyelidikan
berita dari Abu Salih al-Armini kita dapat mengambil kesimpulan kota Barus yang
dahulu disebut Pancur dan saat ini terletak di dalam Keuskupan Sibolga di
Sumatera Utara adalah tempat kediaman umat Katolik tertua di Indonesia. Di
Barus juga telah berdiri sebuah Gereja dengan nama Gereja Bunda Perawan Murni
Maria kembali
6. Konghuchu,— Agama Konghucu berasal dari Cina
daratan dan yang dibawa oleh para pedagang Tionghoa dan imigran. Diperkirakan
pada abad ketiga Masehi, orang Tionghoa tiba di kepulauan Nusantara. Berbeda
dengan agama yang lain, Konghucu lebih menitikberatkan pada kepercayaan dan
praktik yang individual, lepas daripada kode etik melakukannya, bukannya suatu
agama masyarakat yang terorganisir dengan baik, atau jalan hidup atau
pergerakan sosial. Di era 1900-an, pemeluk Konghucu membentuk suatu organisasi,
disebut Tiong Hoa Hwee Koan (THHK) di Batavia (sekarang Jakarta).— Setelah
kemerdekaan Indonesia di tahun 1945, umat Konghucu di Indonesia terikut oleh
beberapa huru-hara politis dan telah digunakan untuk beberapa kepentingan
politis. Pada 1965, Soekarno mengeluarkan sebuah keputusan presiden No.
1/Pn.Ps/1965 1/Pn.Ps/1965, di mana agama resmi di Indonesia menjadi enam, termasuklah
Konghucu. Pada awal tahun 1961, Asosiasi Khung Chiao Hui Indonesia (PKCHI),
suatu organisasi Konghucu, mengumumkan bahwa aliran Konghucu merupakan suatu
agama dan Confucius adalah nabi mereka. Kembali
C. Toleransi beragama
dalam kehidupan
hidup dalam negara
yang penuh keragaman, baik dari suku, agama, maupun budaya. Untuk hidup damai
dan berdampingan, tentu dibutuhkan toleransi satu sama lain. Toleransi adalah
perilaku terbuka dan menghargai segala perbedaan yang ada dengan sesama.
Biasanya orang bertoleransi terhadap perbedaan kebudayaan dan agama. Namun,
konsep toleransi ini juga bisa diaplikasikan untuk perbedaan jenis kelamin,
anakanak dengan gangguan fisik maupun intelektual dan perbedaan lainnya. Toleransi
juga berarti menghormati dan belajar dari orang lain, menghargai perbedaan,
menjembatani kesenjangan budaya, menolak stereotip yang tidak adil, sehingga
tercapai kesamaan sikap dan Toleransi juga adalah
istilah dalam konteks sosial, budaya dan agama yang berarti
sikap dan perbuatan yang melarang adanya diskriminasi terhadap kelompok-kelompok yang
berbeda atau tidak dapat diterima oleh mayoritas dalam suatu masyarakat.
Contohnya adalah toleransi beragama, dimana penganut mayoritas dalam suatu
masyarakat mengizinkan keberadaan agama-agama lainnya.Istilah toleransi juga
digunakan dengan menggunakan definisi “kelompok” yang lebih luas,
misalnya partai politik, orientasi seksual, dan lain-lain
Ada tiga macam sikap toleransi, yaitu:
1. Negatif : Isi ajaran dan
penganutnya tidak dihargai. Isi ajaran dan penganutnya hanya dibiarkan saja karena
dalam keadaan terpaksa. Contoh : PKI atau orang-orang yang beraliran komunis di
Indonesia pada zaman Indonesia baru merdeka.
2. Positif : Isi ajaran ditolak,
tetapi penganutnya diterima serta dihargai. Contoh : Anda beragama Islam wajib
hukumnya menolak ajaran agama lain didasari oleh keyakinan pada ajaran agama
Anda, tetapi penganutnya atau manusianya Anda hargai.
3. Ekumenis : Isi ajaran serta
penganutnya dihargai, karena dalam ajaran mereka itu terdapat unsur-unsur
kebenaran yang berguna untuk memperdalam pendirian dan kepercayaan sendiri. Contoh
: Anda dengan teman Anda sama-sama beragama Islam atau Kristen tetapi berbeda
aliran atau pamahaman.
MARILAH kita renungkan
dan amati suasana peri kehidupan bangsa Indonesia. Kita harus merasa bangga
akan tanah air kita dan juga kita harus bersyukur kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Kita telah dikaruniai tanah air yang indah dengan aneka ragam kekayaan alam
yang berlimpah ditambah lagi beraneka ragam suku, ras, adat istiadat, budaya,
bahasa, serta agama dan lain-lainnya. Kondisi bangsa Indonesia yang pluralistis
menimbulkan permasalahan tersendiri, seperti masalah Agama, paham separatisme,
tawuran ataupun kesenjangan sosial. Dalam kehidupan masyarakat Indonesia,
kerukunan hidup antar umat beragama harus selalu dijaga dan dibina. Kita tidak
ingin bangsa Indonesia terpecah belah saling bermusuhan satu sama lain karena
masalah agama.Toleransi antar umat beragama bila kita bina dengan baik akan
dapat menumbuhkan sikap hormat menghormati antar pemeluk agama sehingga tercipta
suasana yang tenang, damai dan tenteram dalam kehidupan beragama termasuk dalam
melaksanakan ibadat sesuai dengan agama dan keyakinannya Melalui toleransi
diharapkan terwujud ketenangan, ketertiban serta keaktifan menjalankan ibadah
menurut agama dan keyakinan masing-masing. Dengan sikap saling menghargai dan
saling menghormati itu akan terbina peri kehidupan yang rukun, tertib, dan
damai.
Contoh pelaksanaan toleransi antara umat
beragama dapat kita lihat seperti:
1. Membangun jembatan,
2. Memperbaiki tempat-tempat
umum,
3. Membantu orang yang
kena musibah banjir,
4. Membantu korban
kecelakaan lalu-lintas.
Jadi, bentuk kerjasama ini harus kita
wujudkan dalam kegiatan yang bersifat sosial kemasyarakatan dan tidak
menyinggung keyakinan agama masing-masing. Kita sebagai umat beragama
berkewajiban menahan diri untuk tidak menyinggung perasaan umat beragama yang
lain. Hidup rukun dan bertoleransi tidak berarti bahwa agama yang satu dan
agama yang lainnya dicampuradukkan. Jadi sekali lagi melalui toleransi ini diharapkan
terwujud ketenangan, ketertiban, serta keaktifan menjalankan ibadah menurut
agama dan keyakinan masing-masing. Dengan sikap saling menghargai dan saling
menghormati itu, akan terbina peri kehidupan yang rukun, tertib, dan damai.
Dalam kehidupan sehari-hari Anda, apakah contoh-contoh toleransi antar umat
beragama seperti diuraikan di atas telah Anda lakukan? Jika Anda telah
melakukannya berarti Anda telah berperilaku toleran dan saling menghargai.
Tetapi jika Anda tidak melakukannya berarti Anda tidak toleran dan tidak saling
menghargai. Sikap seperti itu harus dijauhi.
Toleransi dalam berbagai kehidupan, Dunia sekarang
sedang diuji oleh kelaparan dan kemiskinan dari satu segi dan di segi
lain dengan penghamburan kekayaan dan kesombongan. Banyak manusia saat ini
sudah lupa akan peristiwa sejarah masa lalu yang kelam, dunia dirusak oleh
manusia-manusia yang serakah. Contoh seperti Perang Dunia I, Perang Dunia II.
Pada tanggal 11 September 2001, dunia dikejutkan kembali oleh sebuah peristiwa
yang sangat bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan dan hak asasi manusia,
yaitu peristiwa pemboman gedung WTC di Amerika. Tetapi yang anehnya lagi
sungguh suatu perbuatan yang tidak berperi kemanusiaan yaitu negara Amerika
beserta sekutunya menyerang Afganistan yang banyak menelan korban penduduk
sipil tak berdosa. Lalu bagaimana dengan negeri kita Indonesia? Masihkah Anda
ingat yaitu peristiwa yang memalukan bangsa kita, yang seharusnya tidak perlu
terjadi. Negara dan bangsa Indonesia pernah digoncang oleh perpecahan yang
berawal dari kemajemukan masyarakat. Di dalam kemajemukan itu ada
kelompok-kelompok tertentu yang mau memisahkan diri dari negara kesatuan.
Konflik-konflik tersebut dapat terjadi karena satu faktor perbedaan, misalnya
faktor agama. Namun tidak jarang perpecahan itu disebabkan oleh beberapa faktor
secara bersama, misalnya kerusuhan ras yang ditunjang oleh perbedaan kondisi
ekonomi, agama, dan budaya. Cobalah Anda renungkan mengapa terjadi peristiwa
perkelahian, tawuran bahkan permusuhan antar etnis di negeri kita. Contoh di
Aceh, peristiwa di Sampit, Sambas, Ambon dan lain-lainnya yang kalau ditulis sungguh
memalukan dan memilukan hati dan perasaan kita. Dari contoh peristiwa yang
tidak semuanya disebutkan itu, bagaimana menurut pendapat Anda? Pasti Anda
tidak menghendaki peristiwa itu terjadi bukan? Karena peristiwa itu apapun
alasannya yang pasti akan menghancurkan masa depan anak-anak bangsa, martabat
serta harga diri bangsa. Kita tidak ingin bangsa Indonesia terpecah-pecah
saling bermusuhan satu sama lain karena masalah agama. Kita ingin hidup tertib,
aman, dan damai, saling menghormati dan saling menghargai agama dan keyakinan
masing-masing. Untuk itu kita harus dapat menciptakan kehidupan umat beragama
yang serasi, selaras, dan seimbang, sebagai umat beragama, sebagai masyarakat
maupun warga negara.
Di era reformasi menuju Indonesia baru
mari kita berupaya semakin meningkatkan kualitas hidup. Salah satunya adalah
bagaimana seharusnya kita bina atau menjalin hubungan toleransi dengan benar.
Kita perlu dan wajib membina dan menjalin kehidupan yang penuh dengan
toleransi. Apalagi kita sebagai manusia, secara kodrat tidak bisa hidup
sendiri. Hal ini berarti seseorang tidak hidup sendirian, tetapi ia berteman,
bertetangga, bahkan ajaran agama mengatakan kita tidak boleh membedakan warna
kulit, ras, dan golongan. Sikap dan perilaku toleransi dapat diwujudkan dalam
kehidupan sehari-hari, di manapun kita berada, baik di lingkungan keluarga,
lingkungan sekolah, lingkungan masyarakat, bahkan berbangsa dan bernegara.
Di bawah ini saya akan memberikan
contoh-contoh pengamalan toleransi dalam berbagai
aspek kehidupan.
Dalam Kehidupan Sekolah, Sama halnya dengan
kehidupan keluarga. Kehidupan sekolah pun dibutuhkan adanya toleransi baik
antara kepala sekolah dengan guru, guru dengan guru, kepala sekolah dengan
murid, guru dengan murid maupun murid dengan murid. Toleransi tersebut
dibutuhkan untuk terciptanya proses pembelajaran yang kondusif, sehingga tujuan
dari pendidikan persekolahan dapat tercapai. Adapun contoh-contoh toleransi
dalam kehidupan sekolah antara lain:
1.
Mematuhi tata tertib sekolah.
2.
Saling menyayangi dan menghormati sesama pelajar.
3.
Berkata yang sopan, tidak berbicara kotor, atau menyinggung perasaan orang lain.
Dalam Kehidupan di Masyaraka, Cobalah Anda renungkan
dan Anda sadari mengapa terjadi peristiwa seperti tawuran antar pelajar di kota-kota
besar, tawuran antar warga, peristiwa atau pertikaian antar agama dan antar
etnis dan lain sebagainya. Peristiwa-peristiwa tersebut merupakan cerminan dari
kurangnya toleransi dalam kehidupan bermasyarakat. Jadi toleransi dalam
kehidupan di masyarakat antara lain, yaitu:
1.
Adanya sikap saling menghormati dan menghargai antara pemeluk agama.
2.
Tidak membeda-bedakan suku, ras atau golongan.
Dalam Kehidupan Berbangsa dan Bernegara, Kehidupan berbangsa
dan bernegara pada hakikatnya merupakan kehidupan masyarakat bangsa. Di
dalamnya terdapat kehidupan berbagai macam pemeluk agama dan penganut
kepercayaan yang berbeda-beda. Demikian pula di dalamnya terdapat berbagai
kehidupan antar suku bangsa yang berbeda. Namun demikian perbedaan-perbedaan
kehidupan tersebut tidak menjadikan bangsa ini tercerai-berai, akan tetapi
justru menjadi kemajemukan kehidupan sebagai suatu bangsa dan Negara Indonesia.
Oleh karena itu kehidupan tersebut perlu tetap dipelihara agar tidak terjadi
disintegrasi bangsa. Adapun toleransi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara
antara lain:
1. Merasa senasib
sepenanggungan.
2.
Menciptakan persatuan dan kesatuan, rasa kebangsaan atau nasionalisme.
3. Mengakui dan
menghargai hak asasi manusia.
KONSELOR : Dalam mengembangkan sikap
Toleransis siswa :Menugaskan siswa Untuk : Mengunjungi teman saki, Manusia
adalah insan sosial. Dengan demikian ia tidak bisa berdiri sendiri, satusama
lainnya saling membutuhkan. Manusia yang satu dengan lainnya mempunyai corak
yang berbeda, kendati demikian kedua-duanya mempunyai kepentingan yang sama
dalam menjalani kehidupannya. Dalam mengejar kepentingan ada norma atau etika
manusia sebagai makhluk yang berbudaya. Contohnya manusia bergaul dengan
sesamanya. Manusia harus bergaul, sebab pergaulan amat penting dan dibutuhkan,
tanpa ini manusia belum lengkap menjalankan kehidupannya. Dengan lain perkataan
manusia tidak dapat hidup sendiri tetapi manusia harus bersatu. Pada uraian
berikut ini saya akan menjelaskan kepada Anda apa yang seharusnya kita lakukan
atau perbuat jika kita mengunjungi teman yang sedang sakit. Saya yakin Anda
pasti sudah mengetahui bagaimana cara menjenguk orang sakit, dan apa yang harus
dilakukan ketika menjenguk teman yang sedang sakit. Bila ada teman yang sedang
sakit, sebaiknya yang Anda lakukan adalah: Meluangkan waktu untuk menjenguknya,
apalagi kalau kenal dengan anggota keluarga yang lain. Sebab suasana itu akan
membantu serta menghibur mereka.
Sewaktu Anda menjenguk teman yang sedang
sakit, ada kemungkinan akan bertemu dengan kenalan yang sudah lama tidak saling
bertemu. Seandainya ini terjadi, Anda harus tetap sadar dan dapat menahan diri.
Jangan sampai pertemuan Anda dengan teman Anda sampai menciptakan kesan terlalu
berisik atau gembira. Sebabnya mungkin teman Anda sakitnya parah atau koma.
Ciptakanlah suasana yang tenang.
Hiburlah dengan kata-kata yang halus dan
lembut. Berusahalah agar jangan ikut menangis, apalagi meratap. Bila keluarga
yang bersangkutan tidak dapat menghentikan tangisnya, biarkan mereka menangis
tapi ingatkan jangan sampai meratap.
Jika
tidak datang atau ingin mengucapkan sesuatu dengan kata-kata, jangan Anda
menulis atau mengucapkan kata “Selamat”. Contoh “Selamat Berduka”. Seharusnya
yang kita ucapkan adalah “Turut bersedih”, mudah-mudahan lekas sembuh. Tetapi
teman yang sakit akhirnya meninggal dunia, maka ucapkanlah kata “Turut
berdukacita”. Itu tandanya Anda turut merasakan kesedihan yang sedang diderita
orang itu bukan malah mengucapkan selamat.
Seandainya menurut
kebiasaan atau budaya Anda bila menjenguk teman sakit tidak pantas kalau tidak
membawa sesuatu, misalkan buah-buahan atau apa saja, boleh dibawa atau
diberikan sepanjang tidak merugikan atau merepotkan Anda. Yang paling penting
adalah kerelaan atau keikhlasannya.
Membantu orang lain yang membutuhkan pertolongan,
Pernahkah Anda merasa sendiri dan kesepian? Saya yakin Anda tidak pernah
merasa kesepian dan kesusahan dalam hidup bukan? Sekarang perhatikanlah kembali
uraian berikut ini. Manusia hanya akan mempunyai arti apabila hidup
bersama-sama dengan manusia lainnya di dalam masyarakat. Seperti yang saya
jelaskan tadi, memang sulit dibayangkan apabila manusia hidup menyendiri tanpa
berhubungan dan bergaul dengan manusia lainnya. Bagaimana kalau kita sakit,
atau rumah kita kebakaran atau musibah lain yang kita tidak ketahui kapan
datang dan perginya. Oleh sebab itu mari kita hidup bermasyarakat, bekerjasama
tolong menolong bahkan harus bersikap toleran dalam berbagai aspek kehidupan.
Tentu Anda dapat memberikan contoh tentang hal itu, seperti misalnya ada seorang
pengemis ke rumah Anda, Anda memberinya dengan ikhlas. Ada teman Anda yang
meminjam pensil Anda dengan ikhlas memberikannya. Jika Anda melakukan semua itu
berarti pola kehidupan tersebut telah Anda pahami dan Anda laksanakan.
Masalah masalah yang berkaitandengan isu
sara dan alternatif penanggulanga, Wacana seputar kehidupan beragama
beserta permasalahan yang selalu mengitarinya, dalam hal ini adalah masalah
seputar pluralitas agama, merupakan permasalahan yang tidak dapat basi. Hal ini
dikarenakan, masalah tersebut akan selalu ada selama masih ada manusia. Selain
itu, masalah atau topik ini akan selalu aktual dan menarik untuk dikaji bagi
siapa pun yang mencita-citakan terwujudnya perdamaian di bumi ini.
menyajikan wacana seputar pluralitas
agama dan kerukunan umat beragama. Hal ini ditandai dengan penyajian materi
yang cenderung merupakan sosialisasi gagasan seputar pluralitas dan
inklusivitas keagamaan ditengah-tengah masyarakat. Hal ini tentunya dilakukan
guna membina dan melestarikan kehidupan beragama yang damai, saling toleransi,
saling menghormati dan saling menghargai.
Tidak hanya itu, keberadaan buku ini
setidaknya dapat memperkaya dan memperluas wacana pluralitas agama dan
kerukunan antarumat beragama. Pemfokusan pada wacana ini, selain sebagai sarana
dialog tertulis, tentunya juga dapat menjadi sarana sosialisasi seputar gagasan
pluralitas dan inklusivitas keagamaan ditengah kehidupan masyarakat. Selain
itu, kehadiran buku ini diharapkan dapat menjadi penyejuk bagi hubungan antar
umat beragama yang beberapa waktu terakhir mengalami gangguan bersamaan dengan
terkoyaknya kehidupan sosial-politik dan ekonomi di bangsa ini.
Adapun hal-hal yang melatarbelakangi ditulisnya ini atau hal-hal yang
menjadi alasan bahwa tema pluralitas dan kerukunan umat beragama menjadi hal
yang menarik untuk dikaji adalah :
- Perlunya
sosialisasi bahwa pada dasarnya semua agama datang untuk mengajarkan dan
menyebarkan perdamaian dalam kehidupan umat manusia.
- Wacana
agama yang menghargai pluralitas, toleran dan inklusif. Hal ini bertujuan
untuk menciptakan kehidupan yang penuh kasih sayang antar sesama manusia.
- Adanya
kesenjangan antara cita-cita ideal agama-agama dengan realitas empirik
kehidupan umat beragama di masyarakat.
- Semakin
menguatnya kecenderungan eksklusivisme dan intoleransi pada sebagian
masyarakat, yangmana nantinya hal ini dapat memicu terjadinya konflik dan
permusuhan bernuansa SARA (agama).
- Perlunya
mencari berbagai upaya untuk mengatasi masalah-masalah yang berkaitan
dengan kerukunan dan perdamaian antar umat beragama.
Secara khusus, ini membahas seputar ide-ide tentang perdamaian dan
kerukunan antar umat beragama, apapun agama itu. Selain itu, masalah seputar
konflik-konflik yang berlabel agama dan masalah seputar dialog antar umat
beragama turut menjadi perhatian utama dalam ini.
yang berisi tulisan-tulisan terpilih harian Kompas sejak tahun 1996 hingga
tahun 2000 ini terbagi menjadi empat (4) bagian. Yaitu :
Pada bagian pertama, ini membahas tentang semangat pluralitas,
toleransi dan inklusivitas dalam agama-agama. Di bagian ini, diutarakan bahwa
pluralitas merupakan sebuah keniscayaan atau kepastian yang harus diterima
secara positif dan dengan lapang dada. Terutama pada di negara demokrasi yang
majemuk seperti Indonesia. Sehingga, diperlukan semangat nilai-nilai pancasila,
seperti toleransi, rekonsiliasi (permufakatan), kesediaan untuk berdialog,
kerja sama dan sikap inklusif serta pembangunan wacana yang tepat. Hal ini
dilakukan agar perbedaan-perbedaan atau keanekaragaman ini menjadi sesuatu yang
positif.
Pada bagian kedua, buku ini memberi kajian singkat seputar agama dan
konflik dalam konteks sosial-politik, khususnya yang terjadi di Indonesia.
Terutama terkait keadaan Indonesia yang dipenuhi oleh keanekaragaman. Adapun
hal-hal yang ingin dijawab melalui bagian ini adalah penyebab konflik antar
umat beragama (faktor agama ataukah faktor-faktor lainnya, seperti sosial,
politik dan ekonomi), upaya yang dapat dilakukan untuk meminimalisasi konflik
antar umat beragama, dan kebijakan pemerintah (dalam hal ini Kementerian Agama)
untuk membangun kerukunan umat beragama.
Pada bagian ketiga, ini mengulas seputar dialog antar umat beragama
yang dikaitkan dengan cita-cita perdamaian yang diajarkan oleh semua agama.
Dialog disini masih dipandang sebagai satu-satunya solusi bila terjadi
pertentangan atau konflik. Adapun masalah-masalah yang ingin dipecahkan dalam
bab ini adalah, bagaimana model-model dialog antar umat beragama, kendala yang
dihadapi dalam dialog antar umat beragama, siapa saja yang harus dilibatkan
dalam dialog antar umat beragama, dan upaya yang harus dilakukan agar dialog
tidak sekedar seremonial serta mampu memberi pengaruh yang efektif.
Pada bagian keempat, ini membahas nilai-nilai kerukunan dalam doktrin
agama-agama. Adapun hal-hal yang diulas yaitu, ajaran agama-agama yang
menegaskan pentingnya kerukunan antar umat beragama dan semangat nilai-nilai
kemanusiaan. Nilai-nilai tersebut setidaknya dapat dikaji dari ajaran ibadah
dan hari raya keagamaan, khususnya perspektif Islam dan kristen.
Berdasarkan uraian singkat diatas, ini setidaknya dapat menjadi
sarana diskusi dan dialog yang baik. Terutama terkait hal-hal seperti
pluralitas, inklusivitas, toleransi, konflik, dialog dan kerukunan antar umat
beragama. Atau bahkan, buku ini dapat dijadikan referensi utama dalam upaya
mewujudkan kerukunan dan kedamaian dalam hubungan antar umat beragama.
Contoh peristiwa terkait agama
Konflik di maluku
Pasca transisi politik 1998, Maluku mengalami pemekaran. Lewat Undang-undang Nomor 46 tahun 1999, provinsi Maluku Utara (Malut) resmi berdiri pada 12 Oktober 1999. Malut lalu dibagi ke dalam kabupaten/kota seperti: (1) Halmahera Barat, ibukota Jailolo; (2) Halmahera Tengah, ibukota Weda; (3) Kepulauan Sula, ibukota Sanana; (4) Halmahera Selatan, ibukota Labuha; (5) Halmahera Utara, ibukota Tobelo; (6) Halmahera Timur, ibukota Maba; (7) Ternate, ibukota Ternate; dan (8) Tidore Kepulauan, ibukota Soasiu. Sementara itu, Maluku terdiri atas sebelas kabupaten/kota, yaitu: (1) Kota Ambon; (2) Kota Tual; (3) Maluku Tengah, ibukota Masohi; (4) Maluku Tenggara, ibukota Langgur ; (5) Maluku Tenggara Barat, ibukota Saumlaki; (6) Aru, ibukota Dobo; (7) Buru, ibukota Namlea; (8) Seram Barat, ibukota Piru; (9) Seram Timur, ibukota Bula; (10) Maluku Barat Daya, ibukota Wonreli; (11) Buru Selatan, ibukota Namrole.
Pasca transisi politik 1998, Maluku mengalami pemekaran. Lewat Undang-undang Nomor 46 tahun 1999, provinsi Maluku Utara (Malut) resmi berdiri pada 12 Oktober 1999. Malut lalu dibagi ke dalam kabupaten/kota seperti: (1) Halmahera Barat, ibukota Jailolo; (2) Halmahera Tengah, ibukota Weda; (3) Kepulauan Sula, ibukota Sanana; (4) Halmahera Selatan, ibukota Labuha; (5) Halmahera Utara, ibukota Tobelo; (6) Halmahera Timur, ibukota Maba; (7) Ternate, ibukota Ternate; dan (8) Tidore Kepulauan, ibukota Soasiu. Sementara itu, Maluku terdiri atas sebelas kabupaten/kota, yaitu: (1) Kota Ambon; (2) Kota Tual; (3) Maluku Tengah, ibukota Masohi; (4) Maluku Tenggara, ibukota Langgur ; (5) Maluku Tenggara Barat, ibukota Saumlaki; (6) Aru, ibukota Dobo; (7) Buru, ibukota Namlea; (8) Seram Barat, ibukota Piru; (9) Seram Timur, ibukota Bula; (10) Maluku Barat Daya, ibukota Wonreli; (11) Buru Selatan, ibukota Namrole.
Deskripsi Konflik. Fase awal erupsi konflik Maluku (Ambon) pecah 19 Januari
1999 setelah dipicu perkelahian supir bus beretnis Ambon beragama Kristen
dengan penumpang beretnis Bugis beragama Islam.[6] Konflik semakin intensif
pada Juli 1999 dan ekstensif ke bagian-bagian provinsi Maluku lainnya hingga
Januari 2000. Mulai saat itu, praktis Ambon terbelah menjadi zona-zona yang
digarisi anutan agama.[7] Pada Mei 2000, konflik Ambon memasuki babak baru
lewat dua perkembangan. Pertama, keterlibatan kekuatan bersenjata ke dalam
kedua kelompok. Kedua, masuknya Lasykar Jihad dari Jawa yang berniat membantu
saudara Muslimnya yang tertekan dalam konflik. Dengan ini, konflik Ambon
bermetamorfosis menjadi konflik bersenjata di mana peralatan amatir seperti
bom-bom rakitan dan senjata buatan digantikan dengan persenjataan profesional.
Pihak Muslim yang awalnya defensif kini ofensif. Akibatnya, pada Juni 2000
Maluku dimasukkan ke dalam Darurat Sipil. Ribuan tentara dan Brimob diturunkan
ke provinsi ini guna mengatasi konflik.
Lewat perjanjian damai Malino II Pebruari 2002, pihak-pihak yang bertikai
sepakat menjalin perdamaian. Kendati demikian, erupsi-erupsi kecil tetap saja
terjadi, terutama di Ambon. Misalnya, pada April 2004 saat empat puluh orang
meninggal dalam kerusuhan mengiringi penaikan bendera RMS di kediaman Alex
Manuputty (pemimpin Front Kedaulatan Maluku). Namun, hal yang cukup melegakan
adalah, erupsi-erupsi yang muncul pasca perjanjian damai Malino II tidak
bereskalasi sebanding erupsi sebelum Deklarasi.
Di provinsi Maluku Utara (Malut), durasi konflik utama relatif lebih
singkat ketimbang Maluku. Erupsi-erupsi konflik terutama mengiringi pemisahan
Malut dari Maluku menjadi provinsi mandiri. Konflik di Malut dibayangi
rivalitas lama antara Kesultanan Ternate dengan Tidore. Awalnya, pada bulan
Agustus 1999 konflik terbatas muncul di daerah Kao antara penduduk lokal dengan
pemukim Makian. Pokok konflik berkisar pada kendali atas Malifut, kecamatan
yang baru terbentuk. Lewat intervensi Sultan Ternate, konflik segera padam.
Namun, saat provinsi Malut resmi terbentuk pada Oktober 1999 konflik kembali
mencuat. Konflik yang belakangan ini juga lalu menyebar ke Ternate dan bagian
lain provinsi baru. Sama seperti di Ambon, erupsi-erupsi konflik Malut pun
secara umum seolah bernuansa agama dan etnis, kendati khusus di Malifut,
konflik lebih banyak bernuansa etnis ketimbang agama.
Akibat gencarnya perang provokasi lewat aneka selebaran, pamflet, dan
propaganda kedua kelompok, aliansi para elit di sekitar rival politik Sultan
Ternate membentuk Tentara Putih, yang berdiri di sisi kelompok Muslim.[8]
Mereka berhasil mendesak kelompok Kristen ke utara Ternate, lalu menyeberang ke
Sulawesi Utara. Di Ternate, kelompok Kristen meminta suaka kepada Sultan
Ternate yang hasilnya terbentuklah Tentara Kuning yang sifatnya lintas agama.
Tentara Putih dikomposisikan kelompok-kelompok etnis asal Tidore, Makian, dan
kaum migran dari Gorontalo. Tentara Kuning dikomposisikan para pendukung Sultan
Ternate, elemen pendukung Golongan Karya, dan kalangan Kristen dari Halmahera
yang secara tradisional adalah aliansi politik Sultan Ternate. Pertempuran
kedua kelompok tentara pecah pada Desember 1999.
Setelah konflik berlarut, muncul isu bahwa pasukan jihad akan tiba di
Galela (Halmahera), wilayah yang penduduknya mayoritas Muslim. Menurut isu yang
lalu muncul mengiringi, pasukan ini akan membela warga Muslim yang tertekan di
Tobelo. Akibatnya, pada bulan Desember 1999, pejuang kelompok Kristen mengalir
dari Kao ke Tobelo dan menyerang kaum Muslim di sana. Di hari kemudian,
kekerasan meledak di Galela, menyebar hingga Bacan, Obi, dan Morotai, Ibu,
Sahu, dan Jailolo. Di Halmahera Selatan, kekerasan pecah Mei 2000 kala pasukan
jihad (lokal, Ternate, Tidore) mengalami bentrokan di perkampungan Kristen.
Akhirnya pada Juni 2000 Malut diberlakukan sebagai Darurat Sipil. Tentara
tambahan dari pemerintah pun masuk ke provinsi baru ini. Hal yang melegakan
adalah, konflik berhasil dilokalisir dan Malut relatif berangsur tenang sejak
pemerintah dan para tokoh masyarakat terlibat proaktif mencari resolusi
konflik..
Penyebab Konflik. Penyebab konflik di Maluku dan Maluku Utara dibagi
menjadi tiga, seperti termuat dalam bagan.[9] Pertama, sebab-sebab struktural
yang terdiri atas melemahnya struktur kekuasaan tradisional, ketimpangan
horisontal, dan dampak kekuasaan otoritarian Orde Baru.[10] Kedua, sebab-sebab
langsung yang terdiri atas krisis ekonomi dan proses desentralisasi serta
demokratisasi. Ketiga, sebab-sebab pemicu atau trigger, yang terdiri atas
perseteruan politik lokal dan aktivitas gang-gang kriminal (di Ambon) serta
selebaran dan pampflet gelap (di Malut).[11]
Anatomi Konflik di Maluku dan
Malut
Sebab-sebab Struktural. Struktur kekuasaan tradisional di Maluku (Ambon)
misalnya pela-gandong dan sasi. Pela-gandong adalah sumpah yang memungkinkan
dua desa di Ambon untuk saling membantu. Dengan pela-gandong, penduduk kedua
desa menggunakan Ambon sebagai sebagai atribut utama hubungan sosial. Sejak
1974, sistem kekuasaan tradisional di Ambon memudar seiring diberlakukannya
undang-undang pemerintah pusat yang mengatur tentang desa. Lurah (kepala desa)
menggantikan posisi negeri sebagai entitas geografis dan raja sebagai
kepalanya. Pemberlakuan tata admnistrasi pemerintahan baru ini juga mengubah
kohesi sosial masyarakat Ambon, yang perubahannya telah beroperasi sejak dua
dekade sebelum erupsi kekerasan. Kekosongan kohesi sosial tradisional ini
dengan mudah diisi ideologi nasional Indonesia (Pancasila) yang bersaing dengan
akselerasi Kristenisasi dan Islamisasi di kalangan masyarakat Maluku. Masalah
agama lalu menjadi ideologis sehingga mampu membelah masyarakatnya.
Di Maluku Utara, konflik cenderung sepi dan hubungan antar kelompok relatif baik karena di wilayah ini lembaga adat masih kuat mengkohesi masyarakat. Kohesi tradisional ini tercermin pada masih diakuinya aliansi-aliansi politik tradisional.[12] Sultan Tidore memiliki aliansi dan demikian pula Sultan Ternate. Bahkan, di Halmahera Timur (kecamatan Maba Selatan), sejumlah desa Kristen justru dilindungi oleh kelompok Muslim, dan diketahui bahwa wilayah tersebut banyak dihuni penduduk asli yang setia kepada Sultan Tidore. Ketika konflik muncul, kesepakatan damai dapat segera dibuat lewat intervensi para kepala desa dan pemimpin adat lokal dari pihak yang bertikai.
Ketimpangan ekonomi juga merupakan sebab struktural, yang kendati sifatnya tidak langsung, memberi sumbangan besar kepada erupsi konflik. Sejak era Belanda, kalangan Kristen Ambon menikmati privilese sosial, ekonomi dan politik. Perimbangan privilese ini terus bertahan hingga saat Suharto kehilangan dukungan sebagian perwira militer di tingkat pusat. Untuk mengisi kekosongan dukungan, Soeharto mencari gantinya pada kelompok Islam (modernis) dalam ICMI. Bukti yang paling meyakinkan adalah diangkatnya Habibie sebagai wakil presiden sejak 1993.
Perubahan pola kekuasaan neopatrimonial tingkat pusat, posisi pimpinan daerah menjadi sangat penting mengingat distribusi kekayaan daerah banyak yang masuk ke tingkat kabupaten/kota. Dalam proses distribusi di daerah, peran gubernur menjadi signifikan. Di Maluku, pergeseran elit – dan kemudian distribusi sumber daya daerah – diindikasikan dengan diangkatnya Aqib Latuconsina sebagai gubernur Ambon. Figur Aqib dianggap merepresentasikan kalangan Muslim dan sipil. Lewat pengaruh Aqib, maka pada tahun 1996 seluruh bupati di Maluku berasal dari kalangan Muslim: Bahkan di wilayah-wilayah yang mayoritas penduduknya beragama Kristen.
Kalangan Kristen di Maluku melihat status quo keuntungan ekonomi mereka menjadi labil. Mereka juga mempersepsikan banyak keuntungan ekonomi yang selama ini dinikmati akan jatuh kepada kelompok migran Muslim dari Sulawesi dan Jawa. Namun, pembalikan posisi ekonomi tidaklah revolutif melainkan berangsur-angsur, dan sesungguhnya telah jauh berlangsung sebelum Aqib menjadi Gubernur Maluku. Misalnya, disparitas pendidikan antar kelompok di Maluku yang pada 1991 berada di atas level 1,8 berubah menjadi di bawah 1,3 dan terus bertahan hingga 1997. Disparitas perumahan, yang berada di posisi 1,6 pada 1991, berubah menjadi di bawah 1,2 pada 1994 dan sedikit di bawah 1,1, pada 1997.[13] Kalangan Kristen di Ambon pun cukup menerima karena peningkatan tersebut merupakan bukti keberhasilan ekonomi daerah secara keseluruhan.
Namun, terdapat lonjakan dalam hal velocity (kecepatan) proses pembalikan keberuntungan ekonomi yang momentumnya berbarengan dengan peralihan politik di tingkat pusat: Dari kalangan sekular kepada kelompok Islam. Munculnya perimbangan baru level politik nasional berimbas pada tergesernya posisi kelompok Kristen di Ambon – yang awalnya dominan – menjadi setara. Hal ini memancing kegelisahan sosial dan ekonomi, terlebih kelompok Kristen memandang ketidakpastian status mereka di masa mendatang akibat kepemimpinan Aqib Latuconsina yang mereka anggap imbalance.
Situasi agak berbeda terjadi di Malut, di mana komposisi kelompok Islam meliputi 85% total populasi, sementara sisanya sebagian besar Protestan. Selain itu, sama seperti Maluku, di Malut juga banyak etnis-etnis migran seperti Jawa, Buton, Minang, Bugis, Gorontalo, dan Sunda. Tahun 1970 terjadi relokasi suku Makian (kebetulan beragama Islam) ke lokasi pemukiman suku Kao (kebetulan beragama Kristen) akibat aktivitas gunung berapi di Pulau Makian. Relokasi ini memunculkan kecurigaan di kalangan suku Kao bahwa terdapat agenda rahasia Islam – Islamisasi – di wilayah Kao. Kecurigaan ini semakin mengental sejak Soeharto mengalihkan dukungan politik kepada kelompok Islam modernis (dan setelah itu, rezimis menurut Robert W. Heffner). Ketegangan antar suku menguat kala pemerintah – tanpa rembug dengan wakil-wakil suku – membentuk kecamatan baru, Malifut. Kecamatan tersebut dimaksudkan untuk dihuni para migran dari suku Makian yang sebelumnya tinggal di pemukiman Kao. Hal ini dipandang suku Kao sebagai pengistimewaan atas suku Makian yang Muslim di mata pemerintah. Kekecewaan menjadi wajar karena wilayah yang digunakan untuk kecamatan Malifut adalah lima desa yang secara adat dibawah kekuasaan suku Kao. Selain itu, pembentukan kecamatan baru tersebut dianggap akan menghambat akses suku Kao ke arah selatan, ke arah saudara Kristiani mereka.
Sebab struktural terakhir adalah dampak kekuasaan otoritarian Orde Baru. Selama Orde Baru, pemerintah selalu menunjuk kalangan Kristen dan Muslim dari Jawa untuk menjadi pimpinan politik di Maluku. Kondisi ini memunculkan keuntungan relatif kalangan Kristen di Maluku, sekaligus ketidakberuntungan relatif kalangan Islamnya. Kepemimpinan politik lokal di Maluku pun mengikuti garis neopatrimonial dari Jakarta.[14] Dengan kecepatan tinggi perimbangan ini berubah, saat sejumlah perwira tinggi ABRI (dikenal sebagai ABRI merah-putih) mulai kritis terhadap Soeharto (terutama perilaku bisnis anak-anaknya). Untuk itu, Soeharto menjadi dukungan pengganti dengan merangkul Muslim modernis yang diwaliki kelompok ICMI. Di kalangan Angkatan Bersenjata, Soeharto mengimbangi kekuatan ABRI merah-putih dengan mendekati ABRI hijau (ABRI yang santri atau dekat dengan kalangan Islam). Ini adalah kebiasaan Soeharto yang baru untuk mengimbangi dan memecah kelompok-kelompok yang kritis kepadanya.
Hal yang kurang disadari Soeharto adalah dampak dari peralihan politik istana ini di daerah. Hubungan neopatrimonial dan sentralisasi kekuasaan, membuat apapun yang terjadi di pusat lekas terasa efeknya di daerah. Terjadi revolusi politik di Maluku. Gubernur yang biasanya dijabat kalangan militer dan beragama Kristen digantikan dengan yang Muslim dan non-militer. Kelompok Islam menganggap peralihan politik istana sebagai kesempatan mereka menciptakan perimbangan baru atas keuntungan relatif di Maluku. Kalangan Kristen berada dalam posisi yang defensif dan galau. Sebuah kondisi matang untuk erupsi konflik telah tercipta.
Di Maluku Utara kondisi sedikit berbeda. Sultan Ternate Muddafar Sjah (kebetulan anggota DPR dari Golkar) mengkombinasikan kuasa politik formal dan informal. Ternate berhasil menjaga kelestarian kesultanan turun-temurun. Konflik Malifut pun tidak lepas dari intervensi sultan. Di Malifut, terdapat tambang emas yang digarap oleh perusahaan Australia, New Crest Mining. Dengan terbentuknya Malifut, akan terjadi perubahaan tata-kelola distribusi keuntungan dari tambang tersebut. Inilah katalisator kuat pemicu konflik di kalangan Makian dan Kao, dan lebih jauh antara elit-elit politiknya.[15]
Rival politik Sultan Ternate adalah Bahar Andili, birokrat keturunan Gorontalo dan Makian. Bahar Andili punya dukungan kuat dari PPP (partai berbasis Islam) dan oleh kelompok Makian dianggap representasi Islam di dalam politik. Mereka memandang Sultan Ternate lebih condong pada kelompok Kristen, karena aliansi adat tradisionalnya. Dukungan atas Bahar Andili juga berasal dari Tidore, Makian, Bacan, dan Kayoa yang diantaranya sama-sama memiliki kisah masa lalu atas Ternate. Dukungan pada Sultan Ternate, selain Golkar, juga datang dari sebagian besar penduduk Islam dan Kristen di Halmahera Utara. Kegagalan Sultan Ternate dalam meresolusi konflik Malifut diantaranya muncul akibat pandangan orang Makian bahwa sultan lebih pro kelompok Kao.
Ketimpangan sosial di Maluku Utara sekaligus ada baik dalam pola tradisional maupun migran. Sultan mewakili kalangan tradisional yang lintas sekat keagamaan, sementara kalangan migran Muslim berkumpul di kelompok Bahar Andili. Aliansi sultan terkemuka dalam pembentukan tentara kuning yang bercorak lintas agama, sementara aliansi Bahar Andili tercermin dalam tentara putih yang menggunakan simbol-simbol Islam.
Krisis ekonomi merupakan fenomena umum di Indonesia secara keseluruhan. Pada umumnya, dampak langsung krisis ekonomi kurang terasa baik di Maluku maupun Malut. Memang terjadi penurunan GDP Maluku sebesar 6% dalam periode 1997 – 1998. Namun, penurunan ini terjadi lintas agama dan aneka etnis yang ada di Maluku. Krisis ekonomi, kendati harus dilakukan studi lebih lanjut, dipandang sebagai penguat kompetisi sumber daya ekonomi antar kelompok-kelompok yang bertikai di Maluku.[16]
Desentralisasi dan demokratisasi, punya pengaruh kuat atas erupsi konflik baik di Maluku maupun Malut. Di Maluku, desentralisasi dan demokratisasi mendorong munculnya ketidakpastian di kalangan status quo Maluku. Desentralisasi berakibat pada makin signifikannya peran kekuatan kelompok daerah (politik lokal) dalam mengontrol sumber-sumber daya alam Maluku. Demokratisasi memungkinkan penduduk daerah sendiri yang menentukan kepada siapa kontrol daerah akan diberikan, yang terutama diberikan kepada elit-elit asli di dalam daerah. Desentralisasi dan demokratisasi mendorong menguatnya mobilisasi massa mengikuti garis agama dan suku.
Di Malut, tambang emas di Malifut adalah bukti kuatnya faktor desentralisasi politik dalam konteks nasional atas konflik. Pembentukan kecamatan Malifut dipandang sebagai upaya salah satu kelompok (Makian) di daerah untuk memonopoli trickle-down-effect tambang emas yang dikelola New Crest Mining asal Australia. Pembentukan Malifut untuk Makian tidak diiringi pemberian kesempatan serupa bagi niat kelompok Kao untuk membentuk distrik sendiri. Kecemburuan dan kesan pengistimewaan suku mengentara dalam kasus Malifut, terutama dari pandangan Suku Kao sebagai penduduk asli. Bahar Andili selaku orang Makian dan representasi kalangan migran, dianggap berada di belakang pembentukan Malifut, yang lalu mendorong Sultan Ternate melibatkan diri ke dalam konflik Malifut.
Trigger atau pemicu konflik, baik di Maluku ataupun Malut tergolong sama. Di Maluku, konflik terbilang merembet cukup cepat. Kecepatan ini dipicu oleh kondisioning yang matang berupa rivalitas yang terjadi antara Aqib Latuconsina (representasi Muslim Maluku) dengan Freddy Latumahina (representasi Kristen Maluku). Gerry van Klinken mencatat, kedua saingan tersebut memiliki jaringan klien agama dan kelompok kriminalnya masing-masing. Keduanya telah pula menyusun langkah-langkah antisipatif dalam menyikapi insiden antara supir dengan penumpang di awal episode konflik Ambon ini.[17]
Di Malut, pengaruh konflik Ambon yang mengkatalisasi konflik ada dalam aras sentimen agama. Namun, tulis Graham Brown, penyebab utama erupsi adalah peredaran pampflet-pampflet gelap yang diproyeksikan kepada pimpinan sinode Gereja Protestan Maluku yang dituduh mengajak perang suci umat Kristen melawan umat Islam.[18] Peran provokator yang mirip dengan di Ambon dicurigai mengambil peran besar dalam konflik Malut, dan diyakini berasal dari agen yang sama.
Penyelesaian Konflik. Deklarasi Perdamaian Malino II merupakan tonggak penting dalam penyelesaian konflik Maluku dan Malut. Sebelum sampai kepada deklarasi, telah muncul inisiatif sejumlah kalangan di Maluku dan Malut sendiri untuk mengadakan penghentian kekerasan dan penciptaan perdamaian.[19]
Perdamaian Malino II tanggal 12 Pebruari 2002, merupakan upaya gabungan wakil-wakil masyarakat Maluku dari kelompok Islam dan Kristen, pemerintah pusat (diwakili Jusuf Kalla dan SBY), serta pemerintah daerah untuk menciptakan perdamaian. Tiga puluh lima wakil kelompok Islam dan tiga puluh lima wakil kelompok Kristen menandatangani deklarasi yang draft-nya disusun selama tiga hari di pegunungan sejuk Malino, Sulawesi Selatan. Bukti kehendak rakyat Maluku untuk damai adalah berlangsungnya Pemilu 2004 yang hampir tanpa masalah. Pemilu ditujukan untuk mencari pemimpin yang mampu membangun Maluku, apapun garis etnis dan agamanya. Demikian pula di Malut, di mana masyarakatnya berhasil menyelenggarakan pilkada gubernur secara damai pada 28 Oktober 2002 di mana Thaib Armayin dan Madjid Abdullah terpilih selaku pemimpin daerah Malut.
Nils Bubant menyatakan, aneka kekerasan yang terjadi di Maluku dan Malut bukanlah disebabkan oleh agama maupun etnisitas, melainkan proses desentralisasi. Kekuasaan Orde Baru yang berdurasi lama dan sentralistik membuat daerah kehilangan kemampuan aslinya dalam mengelola kuasa politik lokal secara mandiri. Dengan desentralisasi, kohesi politik yang alamiah lambat-laun akan terbentuk dan mampu menjembatani hubungan etnis dan agama secara lebih harmonis
Di Maluku Utara, konflik cenderung sepi dan hubungan antar kelompok relatif baik karena di wilayah ini lembaga adat masih kuat mengkohesi masyarakat. Kohesi tradisional ini tercermin pada masih diakuinya aliansi-aliansi politik tradisional.[12] Sultan Tidore memiliki aliansi dan demikian pula Sultan Ternate. Bahkan, di Halmahera Timur (kecamatan Maba Selatan), sejumlah desa Kristen justru dilindungi oleh kelompok Muslim, dan diketahui bahwa wilayah tersebut banyak dihuni penduduk asli yang setia kepada Sultan Tidore. Ketika konflik muncul, kesepakatan damai dapat segera dibuat lewat intervensi para kepala desa dan pemimpin adat lokal dari pihak yang bertikai.
Ketimpangan ekonomi juga merupakan sebab struktural, yang kendati sifatnya tidak langsung, memberi sumbangan besar kepada erupsi konflik. Sejak era Belanda, kalangan Kristen Ambon menikmati privilese sosial, ekonomi dan politik. Perimbangan privilese ini terus bertahan hingga saat Suharto kehilangan dukungan sebagian perwira militer di tingkat pusat. Untuk mengisi kekosongan dukungan, Soeharto mencari gantinya pada kelompok Islam (modernis) dalam ICMI. Bukti yang paling meyakinkan adalah diangkatnya Habibie sebagai wakil presiden sejak 1993.
Perubahan pola kekuasaan neopatrimonial tingkat pusat, posisi pimpinan daerah menjadi sangat penting mengingat distribusi kekayaan daerah banyak yang masuk ke tingkat kabupaten/kota. Dalam proses distribusi di daerah, peran gubernur menjadi signifikan. Di Maluku, pergeseran elit – dan kemudian distribusi sumber daya daerah – diindikasikan dengan diangkatnya Aqib Latuconsina sebagai gubernur Ambon. Figur Aqib dianggap merepresentasikan kalangan Muslim dan sipil. Lewat pengaruh Aqib, maka pada tahun 1996 seluruh bupati di Maluku berasal dari kalangan Muslim: Bahkan di wilayah-wilayah yang mayoritas penduduknya beragama Kristen.
Kalangan Kristen di Maluku melihat status quo keuntungan ekonomi mereka menjadi labil. Mereka juga mempersepsikan banyak keuntungan ekonomi yang selama ini dinikmati akan jatuh kepada kelompok migran Muslim dari Sulawesi dan Jawa. Namun, pembalikan posisi ekonomi tidaklah revolutif melainkan berangsur-angsur, dan sesungguhnya telah jauh berlangsung sebelum Aqib menjadi Gubernur Maluku. Misalnya, disparitas pendidikan antar kelompok di Maluku yang pada 1991 berada di atas level 1,8 berubah menjadi di bawah 1,3 dan terus bertahan hingga 1997. Disparitas perumahan, yang berada di posisi 1,6 pada 1991, berubah menjadi di bawah 1,2 pada 1994 dan sedikit di bawah 1,1, pada 1997.[13] Kalangan Kristen di Ambon pun cukup menerima karena peningkatan tersebut merupakan bukti keberhasilan ekonomi daerah secara keseluruhan.
Namun, terdapat lonjakan dalam hal velocity (kecepatan) proses pembalikan keberuntungan ekonomi yang momentumnya berbarengan dengan peralihan politik di tingkat pusat: Dari kalangan sekular kepada kelompok Islam. Munculnya perimbangan baru level politik nasional berimbas pada tergesernya posisi kelompok Kristen di Ambon – yang awalnya dominan – menjadi setara. Hal ini memancing kegelisahan sosial dan ekonomi, terlebih kelompok Kristen memandang ketidakpastian status mereka di masa mendatang akibat kepemimpinan Aqib Latuconsina yang mereka anggap imbalance.
Situasi agak berbeda terjadi di Malut, di mana komposisi kelompok Islam meliputi 85% total populasi, sementara sisanya sebagian besar Protestan. Selain itu, sama seperti Maluku, di Malut juga banyak etnis-etnis migran seperti Jawa, Buton, Minang, Bugis, Gorontalo, dan Sunda. Tahun 1970 terjadi relokasi suku Makian (kebetulan beragama Islam) ke lokasi pemukiman suku Kao (kebetulan beragama Kristen) akibat aktivitas gunung berapi di Pulau Makian. Relokasi ini memunculkan kecurigaan di kalangan suku Kao bahwa terdapat agenda rahasia Islam – Islamisasi – di wilayah Kao. Kecurigaan ini semakin mengental sejak Soeharto mengalihkan dukungan politik kepada kelompok Islam modernis (dan setelah itu, rezimis menurut Robert W. Heffner). Ketegangan antar suku menguat kala pemerintah – tanpa rembug dengan wakil-wakil suku – membentuk kecamatan baru, Malifut. Kecamatan tersebut dimaksudkan untuk dihuni para migran dari suku Makian yang sebelumnya tinggal di pemukiman Kao. Hal ini dipandang suku Kao sebagai pengistimewaan atas suku Makian yang Muslim di mata pemerintah. Kekecewaan menjadi wajar karena wilayah yang digunakan untuk kecamatan Malifut adalah lima desa yang secara adat dibawah kekuasaan suku Kao. Selain itu, pembentukan kecamatan baru tersebut dianggap akan menghambat akses suku Kao ke arah selatan, ke arah saudara Kristiani mereka.
Sebab struktural terakhir adalah dampak kekuasaan otoritarian Orde Baru. Selama Orde Baru, pemerintah selalu menunjuk kalangan Kristen dan Muslim dari Jawa untuk menjadi pimpinan politik di Maluku. Kondisi ini memunculkan keuntungan relatif kalangan Kristen di Maluku, sekaligus ketidakberuntungan relatif kalangan Islamnya. Kepemimpinan politik lokal di Maluku pun mengikuti garis neopatrimonial dari Jakarta.[14] Dengan kecepatan tinggi perimbangan ini berubah, saat sejumlah perwira tinggi ABRI (dikenal sebagai ABRI merah-putih) mulai kritis terhadap Soeharto (terutama perilaku bisnis anak-anaknya). Untuk itu, Soeharto menjadi dukungan pengganti dengan merangkul Muslim modernis yang diwaliki kelompok ICMI. Di kalangan Angkatan Bersenjata, Soeharto mengimbangi kekuatan ABRI merah-putih dengan mendekati ABRI hijau (ABRI yang santri atau dekat dengan kalangan Islam). Ini adalah kebiasaan Soeharto yang baru untuk mengimbangi dan memecah kelompok-kelompok yang kritis kepadanya.
Hal yang kurang disadari Soeharto adalah dampak dari peralihan politik istana ini di daerah. Hubungan neopatrimonial dan sentralisasi kekuasaan, membuat apapun yang terjadi di pusat lekas terasa efeknya di daerah. Terjadi revolusi politik di Maluku. Gubernur yang biasanya dijabat kalangan militer dan beragama Kristen digantikan dengan yang Muslim dan non-militer. Kelompok Islam menganggap peralihan politik istana sebagai kesempatan mereka menciptakan perimbangan baru atas keuntungan relatif di Maluku. Kalangan Kristen berada dalam posisi yang defensif dan galau. Sebuah kondisi matang untuk erupsi konflik telah tercipta.
Di Maluku Utara kondisi sedikit berbeda. Sultan Ternate Muddafar Sjah (kebetulan anggota DPR dari Golkar) mengkombinasikan kuasa politik formal dan informal. Ternate berhasil menjaga kelestarian kesultanan turun-temurun. Konflik Malifut pun tidak lepas dari intervensi sultan. Di Malifut, terdapat tambang emas yang digarap oleh perusahaan Australia, New Crest Mining. Dengan terbentuknya Malifut, akan terjadi perubahaan tata-kelola distribusi keuntungan dari tambang tersebut. Inilah katalisator kuat pemicu konflik di kalangan Makian dan Kao, dan lebih jauh antara elit-elit politiknya.[15]
Rival politik Sultan Ternate adalah Bahar Andili, birokrat keturunan Gorontalo dan Makian. Bahar Andili punya dukungan kuat dari PPP (partai berbasis Islam) dan oleh kelompok Makian dianggap representasi Islam di dalam politik. Mereka memandang Sultan Ternate lebih condong pada kelompok Kristen, karena aliansi adat tradisionalnya. Dukungan atas Bahar Andili juga berasal dari Tidore, Makian, Bacan, dan Kayoa yang diantaranya sama-sama memiliki kisah masa lalu atas Ternate. Dukungan pada Sultan Ternate, selain Golkar, juga datang dari sebagian besar penduduk Islam dan Kristen di Halmahera Utara. Kegagalan Sultan Ternate dalam meresolusi konflik Malifut diantaranya muncul akibat pandangan orang Makian bahwa sultan lebih pro kelompok Kao.
Ketimpangan sosial di Maluku Utara sekaligus ada baik dalam pola tradisional maupun migran. Sultan mewakili kalangan tradisional yang lintas sekat keagamaan, sementara kalangan migran Muslim berkumpul di kelompok Bahar Andili. Aliansi sultan terkemuka dalam pembentukan tentara kuning yang bercorak lintas agama, sementara aliansi Bahar Andili tercermin dalam tentara putih yang menggunakan simbol-simbol Islam.
Krisis ekonomi merupakan fenomena umum di Indonesia secara keseluruhan. Pada umumnya, dampak langsung krisis ekonomi kurang terasa baik di Maluku maupun Malut. Memang terjadi penurunan GDP Maluku sebesar 6% dalam periode 1997 – 1998. Namun, penurunan ini terjadi lintas agama dan aneka etnis yang ada di Maluku. Krisis ekonomi, kendati harus dilakukan studi lebih lanjut, dipandang sebagai penguat kompetisi sumber daya ekonomi antar kelompok-kelompok yang bertikai di Maluku.[16]
Desentralisasi dan demokratisasi, punya pengaruh kuat atas erupsi konflik baik di Maluku maupun Malut. Di Maluku, desentralisasi dan demokratisasi mendorong munculnya ketidakpastian di kalangan status quo Maluku. Desentralisasi berakibat pada makin signifikannya peran kekuatan kelompok daerah (politik lokal) dalam mengontrol sumber-sumber daya alam Maluku. Demokratisasi memungkinkan penduduk daerah sendiri yang menentukan kepada siapa kontrol daerah akan diberikan, yang terutama diberikan kepada elit-elit asli di dalam daerah. Desentralisasi dan demokratisasi mendorong menguatnya mobilisasi massa mengikuti garis agama dan suku.
Di Malut, tambang emas di Malifut adalah bukti kuatnya faktor desentralisasi politik dalam konteks nasional atas konflik. Pembentukan kecamatan Malifut dipandang sebagai upaya salah satu kelompok (Makian) di daerah untuk memonopoli trickle-down-effect tambang emas yang dikelola New Crest Mining asal Australia. Pembentukan Malifut untuk Makian tidak diiringi pemberian kesempatan serupa bagi niat kelompok Kao untuk membentuk distrik sendiri. Kecemburuan dan kesan pengistimewaan suku mengentara dalam kasus Malifut, terutama dari pandangan Suku Kao sebagai penduduk asli. Bahar Andili selaku orang Makian dan representasi kalangan migran, dianggap berada di belakang pembentukan Malifut, yang lalu mendorong Sultan Ternate melibatkan diri ke dalam konflik Malifut.
Trigger atau pemicu konflik, baik di Maluku ataupun Malut tergolong sama. Di Maluku, konflik terbilang merembet cukup cepat. Kecepatan ini dipicu oleh kondisioning yang matang berupa rivalitas yang terjadi antara Aqib Latuconsina (representasi Muslim Maluku) dengan Freddy Latumahina (representasi Kristen Maluku). Gerry van Klinken mencatat, kedua saingan tersebut memiliki jaringan klien agama dan kelompok kriminalnya masing-masing. Keduanya telah pula menyusun langkah-langkah antisipatif dalam menyikapi insiden antara supir dengan penumpang di awal episode konflik Ambon ini.[17]
Di Malut, pengaruh konflik Ambon yang mengkatalisasi konflik ada dalam aras sentimen agama. Namun, tulis Graham Brown, penyebab utama erupsi adalah peredaran pampflet-pampflet gelap yang diproyeksikan kepada pimpinan sinode Gereja Protestan Maluku yang dituduh mengajak perang suci umat Kristen melawan umat Islam.[18] Peran provokator yang mirip dengan di Ambon dicurigai mengambil peran besar dalam konflik Malut, dan diyakini berasal dari agen yang sama.
Penyelesaian Konflik. Deklarasi Perdamaian Malino II merupakan tonggak penting dalam penyelesaian konflik Maluku dan Malut. Sebelum sampai kepada deklarasi, telah muncul inisiatif sejumlah kalangan di Maluku dan Malut sendiri untuk mengadakan penghentian kekerasan dan penciptaan perdamaian.[19]
Perdamaian Malino II tanggal 12 Pebruari 2002, merupakan upaya gabungan wakil-wakil masyarakat Maluku dari kelompok Islam dan Kristen, pemerintah pusat (diwakili Jusuf Kalla dan SBY), serta pemerintah daerah untuk menciptakan perdamaian. Tiga puluh lima wakil kelompok Islam dan tiga puluh lima wakil kelompok Kristen menandatangani deklarasi yang draft-nya disusun selama tiga hari di pegunungan sejuk Malino, Sulawesi Selatan. Bukti kehendak rakyat Maluku untuk damai adalah berlangsungnya Pemilu 2004 yang hampir tanpa masalah. Pemilu ditujukan untuk mencari pemimpin yang mampu membangun Maluku, apapun garis etnis dan agamanya. Demikian pula di Malut, di mana masyarakatnya berhasil menyelenggarakan pilkada gubernur secara damai pada 28 Oktober 2002 di mana Thaib Armayin dan Madjid Abdullah terpilih selaku pemimpin daerah Malut.
Nils Bubant menyatakan, aneka kekerasan yang terjadi di Maluku dan Malut bukanlah disebabkan oleh agama maupun etnisitas, melainkan proses desentralisasi. Kekuasaan Orde Baru yang berdurasi lama dan sentralistik membuat daerah kehilangan kemampuan aslinya dalam mengelola kuasa politik lokal secara mandiri. Dengan desentralisasi, kohesi politik yang alamiah lambat-laun akan terbentuk dan mampu menjembatani hubungan etnis dan agama secara lebih harmonis
Daftar pustaka
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Mari diskusi bareng